Jumat, 26 Februari 2016

Makalah Asas-Asas Hukum Waris (Adat,Islam,BW)

ASAS-ASAS HUKUM WARIS (ADAT, ISLAM, BW)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas “Hukum Waris dan Kewarisan di Indonesia”

Dosen pengampu:
Suchamdi, M.SI.
  

 




Disusun oleh:
Ade Rahayu Rahmawati              (210114013)
Fachurizal Ahzani                        (210114028)
Fahmi Nur Muhamad                   (210114017)


JURUSAN SYARI’AH
PRODI AHWAL SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2016





BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yangtelah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.Seperti yang kita ketahui hukum waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yaitu hukum waris adat, hukum waris islam dan hukum waris perdata. Uniknya lagi di setiap daerah di Indonesia menganut hukum waris sesuai dengan latar belakang dan sistem kekerabatan yang mereka anut.Banyak orang yang mengetahui bahwa menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun diluar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama. Akan menjadi milik negara bilamana tidak ada ahli waris tersebut diatas, yang mana wajib akan melunasi segala utangnya dengan catatan harta peninggalan mencukupi untuk itu.
Hukum kewarisan islam di Indonesia adalah merupakan bagian keempat dari buku Hukum kekeluargaan Indonesia. Akhir-akhir ini warisan sering menjadi perdebatansaat akan dilakukan pembagian harta waris,padahal semua hal tentang harta warisan sudah diatur dengan adil didalam hukum islam sesuai dengan al-qur’an dan al-hadits.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa saja asas-asas hukum waris adat dan bagaimana penjelasannya ?
2.      Apa saja asas-asas hukum waris islam serta bagaimana penjelasannya ?
3.      Apa saja asas-asas hukum waris BW serta bagaimana penjelasannya ?






BAB II
PEMBAHASAN

A. Asas-Asas Hukum Waris Adat
1. Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri
Asas ketuhanan dan pengendalian diri, yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta kekayaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ridha Tuhan bila seseorang meninggal dan meninggalkan harta warisan, maka para ahli waris itu menyadari dan menggunakan hukum-Nya untuk membagi warisan mereka, sehingga tidak berselisih dan saling berebut warisan.
2. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak
Asas kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya. Oleh karena itu, memperhitungkan hak dan kewajiban tanggung jawab setiap ahli waris bukanlah berarti pembagian harta warisan itu mesti sama banyak, melainkan pembagian itu seimbang berdasarkan hak dan tanggungjawabnya.
3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan
Asas kerukunan dan kekeluargaan, yaitu para ahli waris mempertahankan untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tentram dan damai, baik dalam menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun dalam menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.
4. Asas Musyawarah dan Mufakat
Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus iklas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.

5. Asas Keadilan
Asas keadilan, yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan dan jasa, sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan, baik bagian sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai anggota keluarga pewaris.[1]
B. Asas-Asas Hukum Waris Islam
1. Ijbari
Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.
Asas ijbari dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu :
a)      Dari pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia
b)      Dari segi jumlah harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris.
c)      Dari segi kepastian penerima harta peninggalan, yakni mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dan ikatan perkawinan dengan pewaris.
2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak, dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat ketyurunan perempuan. Asa bilateral itu,mempunyai 2 (dua) dimensi,
a)      Dimensi saling mewarisi antara anak dengan orang tuanya.
dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ ayat 7 ditegaskan bahwa laki-laki dan perempuan berhak mendapat harta warisan dari ibu-ayahnya. Demikian juga dalam garis hukum Surah An-Nisaa’ ayat 11, ditegaskan bahwa ayah dan ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam, bila pewaris meninggalkan anak.
b)      Dimensi saling mewarisi antara orang yang bersaudara juga terjadi bila pewaris tidak mempunyai keturunan atau orang tua.
Kedudukan saudara sebagai ahli waris dalam garis hukum Islam Surah An-Nisaa’ ayat 12, ditentukan bahwa bila seorang laki-laki mati punah dan mempunyai saudara, maka saudaramya (saudara laki-laki maupun saaudara perempuan) berhak mendapatkan warisanya[2].
3. Asas Individual
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadarnya masing-masing. Oleh karena itu, bila setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain berarti mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban (ahliyat al-ada).
4. Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisanIslam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Sebagai contoh, laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Selain itu Surah Al-Baqarah ayat 233; At-Tahrim ayat 7 menjelaskan bahwa seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga untuk mencukupi keperluan hidup anak istrinya menurut kemampuannya. Sesungguhnya manfaat yang dirasakan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta peninggalan yang mereka peroleh adalah sama.
5. Akibat Kematian
Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat daei meninggalnya seseorang. Ini berarti, harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.[3]

C. Asas-Asas Hukum Waris  (BW)
Dalam hukum waris BW berlaku asas, bahwa hanya hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta benda saja yang dapat diwariskan. Atau hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Jadi hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau kepribadian, misalnya hak dan kewajiban sebagai suami atau ayah, tidak dapat diwariskan.
Selain itu berlaku juga asas, bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka seketika itu pula segala hak dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya. Asas ini dalam bahasa Perancis disebut “le mort saisit le vif“. Sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si pewaris oleh para ahli waris disebut “saisine“.Ada juga asas yang disebut dengan “hereditatis petition“yaitu hak dari ahli waris untuk menuntut semua yang termasuk dalam harta peninggalan dari si pewaris terhadap orang yang yang menguasai harta warisan tersebut untuk diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Asas ini diatur dalampasal 834 BW.
Selain itu ada juga asas “de naaste in het bloed, erft het goed“ yang artinya yang berdarah dekat, warisan didapat. Dan untuk mengetahui kedekatan tersebut, harus dilakukan perhitungan dan untuk inidipakai ukuran perderajatan dengan rumusX-1.Semakin besar nilai derajat, maka semakin jauh hubungan kekeluargaan dengan si pewaris. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil nilai derajat, maka semakin dekat hubungan darah dengan si pewaris. Misal : ukuran derajat seorang anak kandung dengan si pewaris adalah 2-1=1 derajat.[4]







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam pembagian warisan di Indonesia ada 3 cara atau versi pembagian warisan tersebut yaitu melalui hukum adat, hukum Islam dan BW dan setiap cara atau versi tersebut mempunyai asas-asas yang berbeda pula dalam pembagian warisan. Menurut hukum adat terdapat berbagai asas-asas yang perlu kita ketahui yakni :  Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri, Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak, Asas Kerukunan dan Kekeluargaan, Asas Musyawarah dan Mufakat serta Asas Keadilan. Sedangkan menurut hukum Islam terdiri atas asas Ijbari, Bilateral, Individual, Keadilan Berimbang dan kematian. Sedangkan menurut BW asas dalam pembagian warisan ialah asas bahwa hanya hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta benda saja yang dapat diwariskan, asas bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka seketika itu pula segala hak dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya dan juga asas “de naaste in het bloed, erft het goed“ yang artinya yang berdarah dekat, warisan didapat.










DAFTAR PUSTAKA
Refrensi dari buku :
·         Ali, Zainuddin, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
·         Anshori, Abdul Ghofur, 2012, Hukum Kewarisan di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press
·         Saebani, Beni Ahmad, 2009, Fiqh Mawaris, Bandung: CV. Pustaka Setia
Refrensi dari internet :
·         Muji Yono, Resume Hukum Waris Menurut BW, http://anugrahjayautama.blogspot.com/2012/06/hukum-waris-menurut-bw.html, Diakses pada 23 Februari 2016, jam 20.16


[1] Prof.Dr.H.Zainuddin Ali, M.A., Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
[2] Drs. Beni Ahmad Saebani,M.Si, Fiqh Mawaris, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009)
[3] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2012)
[4] Muji Yono, Resume Hukum Waris Menurut BW, http://anugrahjayautama.blogspot.com/2012/06/hukum-waris-menurut-bw.html, Diakses pada 23 Februari 2016, jam 20.16